Sabtu, 24 Mei 2008

Harga BBM Naik? Sungguh Terlalu!

gaulislam edisi 032/tahun I (27 Jumadil Awwal 1429 H/2 Juni 2008)

Akhirnya, pemerintah menaikkan juga harga BBM mulai pukul 00.00 WIB tanggal 24 Mei 2008. Pengumuman kenaikan harga BBM untuk jenis bensin, solar, dan minyak tanah tersebut disampaikan Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro pada tanggal 23 Mei 2008 pukul 21.30 WIB. Waduh, ini sungguh informasi yang bikin sesak nafas bagi banyak kalangan. Teganya.. teganya.. teganya...

Bro, sebagai remaja kita bukan berarti cuek aja lho ngelihat dan ngerasain kondisi ini. Tapi kudu mulai berpikir jauh ke depan bahwa masalah ini adalah bagian dari dinamika kehidupan yang lambat-laun ngimbas juga ke kamu semua. Memang sih, kamu rata-rata tinggal nodong aja sama ortu untuk ongkos sekolah dan jajan. Namun, cobalah empati dikit aja bahwa ortu kita juga sangat pusing mikirin naiknya harga BBM ini. Bener lho, yang udah-udah juga ngimbas ke sektor lain. Misalnya naiknya ongkos transportasi, harga-harga sembako yang kompakan ikut naik, harga kertas juga iri jadi kepengen ikutan naik, dan kebutuhan lainnya pasti harganya naik dengan alasan “menyesuaikan”. Sementara, gaji ortu nggak naik, pendapatan seret, malah nggak imbang dengan pengeluaran. Jadinya, meski terlihat pada sebagian kalangan (seperti pedagang) ada peningkatan harga yang berpotensi untung, tapi pendapatan tetep aja segitu-gitunya. Ujungnya, jatah uang jajanmu dari ortu juga bakalan kena diskon tuh. Betul?

Sobat muda muslim, ini ironi banget. Sebab, kita hidup di tempat yang sebenarnya sumber daya alamnya melimpah, baik di darat maupun di laut. Tapi dalam pengelolaannya nggak maksimal. Malah anehnya yang memaksimalkan sumber daya alam negeri ini adalah pihak-pihak asing. Khusus untuk urusan minyak aja, Pertamina sebagai perusahaan pemerintah nggak begitu aja bisa langsung mengeksplorasi minyak bumi. Entah dengan alasan minimnya teknologi atau memang ada tekanan pihak asing, akhirnya untuk eksplorasi minyak mentah dan gas diserahkan kepada perusahaan-perusahaan asing macam Chevron, Total FinaElf, Shell, ExxonMobile, ConocoPhilips, Texaco, British Petroleum (BP), Unocal, PetroChina dsb.

Perusahaan-perusahaan asing itu dapat apa? Tentu dapat penghasilan yang gede dong. Mereka menguasai ladang minyak dan kilang minyak yang ada di negeri ini sekitar 92 persen. Sementara Pertamina cuma kebagian 8 persen aja. Parahnya, di tubuh Pertamina pun, saham pemerintah hanya 60 persen, dan sisanya dimiliki asing. Waduh!

Boys and gals, pemerintah ngasih alasan kalo naiknya harga BBM karena kenaikan harga minyak dunia yang sempat menyentuh angka 124 US dollar/barrel. Tentu ini rekor banget. Sebab, yang udah-udah cuma nyampe 70-an US dollar/barrel. Sehingga, menurut kacamata pemerintah, ini bakalan menggerogoti APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Nah, karena harga minyak ini selalu disubsidi oleh pemerintah (dan itu dimasukkan dalam hitungan di APBN), maka pastinya jumlah duit untuk menyeimbangkan neraca APBN bakalan tambah gede. Satu-satunya jalan, dan yang selama ini ditempuh adalah mencabut subsidi. Nah, karena yang gede itu adalah subsidi pemerintah terhadap BBM, maka subsidi di sektor inilah yang harus dimusnahkan.

Sekadar tahu aja, dalam APBN-P 2008 pemerintah mengalokasikan subsidi BBM sebesar Rp 126 triliun. Cukup gede memang. Ini dengan asumsi harga minyak dunia di bawah 100 US dolar per gentong (dalam bahasa perminyakan disebut barel). Ini yang sering jadi alasan pemerintah untuk sesegera mungkin nyari jalan pintas menyeimbangkan APBN dengan cara mencabut subsidi BBM karena dinilai terlalu besar. Jadi, hasil akhirnya menurut pemerintah adalah harga BBM ‘wajib’ dinaikkan. Sungguh terlalu!

Rakyat ‘disogok’ BLT?
Halah, selalu aja gini. Dulu waktu naikkin harga BBM pada Oktober 2005, pemerintah juga ngeluarin anggaran untuk BLT (Bantuan Langsung Tunai). Alasannya, sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM yang katanya tepat sasaran, yakni untuk kalangan masyarakat miskin. Padahal mah, meskipun dapetin BLT tiap bulan tapi kan harga-harga kebutuhan hidup tetap aja naik sebagai dampak dari kenaikan harga BBM waktu itu. Belum lagi pada faktanya pemerintah malah kebingungan karena penerima BLT juga nggak tepat sasaran karena datanya tak valid. Sampe-sampe mereka yang udah di alam kubur aja masih terdata sebagai penerima BLT. Walhasil, kacau-balau dah!

Sobat, BLT akhirnya jadi semacam ‘sogokan’ aja buat rakyat miskin biar mereka nggak protes terus dengan kenaikan harga BBM kali ini. Seharusnya seluruh rakyat sadar dan menyadari bahwa kondisi ini nggak ngejamin hidup mereka seterusnya. Sebab, bersamaan dengan harga BBM naik, maka bakalan terjadi efek domino, yakni efek ikutan akibat satu sektor naik. BBM naik, otomatis ongkos transportasi ikut naik. Bagi mereka yang usaha, maka kudu nambahi jatah beli solar dan bensin untuk ngangkut produk dan hasil usaha mereka untuk dipasarkan. Karena nggak mau rugi, maka harga produknya dinaikkan. Begitu sampe pasar, pedagang eceran juga naikkin lagi harga dan sampe ke konsumen pasti ikutan naik tuh harga. So, tetep aja duit dapet dari BLT bakalan cepet nguap lagi. Maka, penghematan Rp 35 triliun dari pencabutan subsisi yang akan dialokasikan untuk pengentasan kemiskinan, salah satunya program BLT, jadi nggak ada apa-apanya. Apalagi dibatasin waktunya.

Selain sektor kebutuhan pokok yang naik akibat kenaikan harga BBM, maka sektor pendidikan, kesehatan, informasi, dan lain sebagainya bakalan ‘menyesuaikan’. Media cetak atau para penerbit pastinya kelimpungan dengan harga kertas yang kian naik tajam (bahkan udah duluan naik sebelum harga BBM melonjak). Mereka terancam gulung tikar dan masyarakat pun siap-siap miskin informasi. Maka, jangan heran kalo nanti beli buku pelajaran pun jadi mahal. Kalo yang punya duit palingan jadi kudu merogoh kocek makin dalam, sementara yang nggak punya duit atau ngepas dijamin nggak bisa beli tuh buku pelajaran. Bener-bener sengsara banget!

Itu sebabnya, adanya program BLT menurut Sultan Hamengku Buwono X nggak akan memecahkan persoalan kemiskinan. Bener juga sih. Sebab, nggak serta-merta rakyat jadi kaya mendadak. Malah, kesannya cuma mengalihkan perhatian masyarakat biar ada anggapan bahwa pemerintah masih pro rakyat kecil dengan adanya BLT ini. Gawat bener kalo sampe terjadi ‘penipuan’ kayak gini. Hmm.. nggak seindah waktu kampanye. Jadi inget lagu dangdut: “Kau yang berjanji, kau yang mengingkari...” Beeuuh..nekuk bener tuh!

‘Cerai’ aja ama kapitalisme!
Brur en Sis, kamu wajib tahu bahwa kondisi kita saat ini adalah akibat diberlakukannya sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem kehidupan ini bukan saja merusak sektor ekonomi, tapi juga ngerusak gaya hidup kita sebagai muslim. Maklum, dengan akidah sekularismenya, kapitalisme berhasil ngacak-ngacak tatanan kehidupan kaum muslimin dan siapa pun untuk jadi sekuler, yakni pelaksanaan kehidupan dunia tanpa aturan agama. Sebab, yang jadi ukuran bukan lagi halal-haram, tapi asas manfaat. Itu artinya, meskipun perzinaan adalah haram dalam pandangan Islam, tetapi karena aktivitas itu mendatangkan manfaat berupa kekayaan materi, maka kapitalisme tetap memeliharanya. Wat margawat ta iye!

Nah, khusus dalam kasus krisis energi ini, pemerintah bukannya mencari solusi lain yang tidak terlalu memberatkan rakyat banyak, malah mencabut subsidi BBM yang sebenarnya bukan cuma memicu gejolak sosial tapi juga gejolak ekonomi, karena rakyat akan kian bertambah miskin. Pertanyaan yang harus diajukan adalah: apakah menaikkan harga BBM adalah satu-satunya jalan dan jalan terakhir untuk menyelamatkan keuangan negara?

Bro, minyak bumi itu adalah sumber energi yang nggak bisa diperbaharui dalam waktu dekat. Bahkan sebetulnya nyaris nggak bisa diperbaharui lagi. Kalo cadangan minyak ini habis, maka kudu siap-siap nyari sumber energi baru. Memang sih, cadangan minyak itu masih sampe puluhan tahun ke depan. Tapi kan kudu disiapkan dari sekarang kalo sewaktu-waktu energi tersebut habis. Konon kabarnya Indonesia tuh cuma memiliki ladang minyak 4 persen saja dari total cadangan minyak dunia.

Nah, salah satu energi alternatif yang kayaknya cocok untuk dikembangkan adalah nuklir. Nuklir for power tentu yang didahulukan, bukan nuklir for weapon. Memang sih dari sisi teknologi sangat mahal dan perlu keamanan tingkat tinggi. Tapi, bukan halangan kalo memang mau. Sebab negara seperti Iran, India, Amerika, dan Korea Utara saja, mereka sudah mengembangkan energi nuklir. Sekadar gambaran aja ya betapa dahsyatnya energi nuklir, saya pernah baca tulisan terapan tentang nuklir bahwa uranium yang sudah diperkaya dengan jumlah hanya 100 gram bisa menyalakan lampu pijar 100 watt nonstop selama 100 tahun. Fantastis banget kan?

Oke, sebelum bicara soal energi alternatif macam nuklir itu, pemerintah seharusnya bisa mengontrol kebijakan dalam migas (minyak dan gas) ini. Baik undang-undangnya maupun tata-niaganya.Harus ada revolusi total deh.

Pertama, harus dinasionalisasi tuh eksplorasi ladang-ladang minyak, jangan diserahkan ke perusahaan asing. Negara sebagai wakil kaum muslimin (rakyat) yang harus mengelola, karena energi tersebut milik rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Kaum muslimin itu berserikat dalam tiga perkara, dalam padang gembalaan, air dan api (energi)” (HR Abu Dawud)

Kedua, karena saat ini belum punya banyak kilang minyak untuk pengolahan minyak mentah menjadi bensin, solar dsb, maka ketika mengeskpor ke luar negeri untuk dijadikan BBM lalu diimpor lagi, musnahkan tuh para mafia minyak yang ternyata orang Indonesia sendiri supaya harga bisa ditekan. “Ekspor dan impor itu ada mafianya, dan hal itu yang memberatkan APBN. Maka itu, reformasi tata niaga migas perlu dilakukan. Hal itu yang memberatkan APBN,” ujar pengamat ekonomi Hendri Saparini (okezone.com, 18 Mei 2008)

Bro, yang terpenting dari semua itu adalah pemerintah wajib mengganti sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini dengan sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyah jika mau problem ini selesai dengan tuntas. Sebab, udah terbukti kapitalisme tak mampu memberikan apapun kecuali kesengsaraan bagi mereka yang tak memiliki kekuasaan dan modal gede. Apa mau terus begini? [osolihin: sholihin@gmx.net]

Tidak ada komentar: